Fakta Menarik Kampung Dukuh yang Menarik untuk Diketahui

Ditulis oleh Siti Hasanah

Selain terkenal dengan laut dan pemandangan alamnya, Garut Selatan punya satu lokasi yang dikenal sebagai Kampung Adat Dukuh. Kampung ini merupakan kelompok masyarakat yang menjalani hidup dengan memegang prinsip dan nilai-nilai tradisi yang diajarkan leluhur. Berbeda dengan kampung adat lain yang kental dengan nuansa tradisi dan budaya Sunda, nafas Islam di masyarakat sangat kuat.  

Secara administratif, Kampung Dukuh terletak di Desa Ciroyom, Kecamatan Cikelet, Kabupaten Garut. Di sini terdapat kurang lebih 42 rumah dan satu masjid yang juga digunakan untuk anak-anak belajar mengaji. Keunikan Kampung Dukuh dengan nilai-nilai yang dianutnya menarik untuk ditelusuri. Nah, kita kenalan yuk dengan Kampung Dukuh dari beberapa fakta yang telah kami rangkum berikut ini!

Baca juga: Fakta Menarik dari Kampung Adat Cikondang

1. Asal Nama Kampung Dukuh dan Sejarahnya

Asal Nama Kampung Dukuh dan SejarahnyaSumber: rekayorek.id

Sebelum dikenal dengan nama Kampung Dukuh, masyarakat sekitar mengenal daerah ini dengan nama Padukuhan yang artinya padepokan. Kata dukuh bukan diambil dari nama buah, melainkan bermakna calik dalam Bahasa Sunda, yang berarti tempat bermukim atau tempat untuk bermunajat.

Masyarakat Kampung Dukuh berpatokan pada mazhab Imam Syafe’I dan ajaran tasyawuf yang diajarkan Syekh Abdul Jalil. Beliau merupakan penganut ajaran sufisme. Syekh Abdul jalil adalah orang yang membuka permukiman Kampung Dukuh dan juga sosok yang dimuliakan dan dihormati di sana.

Sejarah Kampung Dukuh berawal dimulai saat Syekh Abdul Jalil diminta menjadi Penghulu Sumedang oleh Rangga Gempol II.  Beliau bersedia mengemban tugas yang diamanatkan oleh Rangga Gempol II yang kala itu menjadi Bupati Sumedang asal dua syarat terpenuhi.

Syarat yang diajukin berisi tentang kepatuhan pada hukum syara. Sayangnya, syarat yang disepakati oleh Rangga Gempol II dirusak dengan terjadinya pemberontakan yang dilakukannya terhadap kerajaan Banten.

Syekh Abdul Jalil yang kala itu berada di Mekkah, sedih mendengar insiden yang terjadi di wilayahnya. Sekembalinya dari Mekkah, beliau bermunajat meminta petunjuk tempat mana yang cocok untuk beliau tinggal untuk mengajarkan agama Islam.

Lalu, suatu malam beliau melihat titik cahaya yang jatuh di antara sungai Ci Mangke dan Ci Pasarangan. Konon tempat tersebut adalah cikal bakal Kampung Dukuh yang kita saksikan hari ini.

Tempat yang kemudian dinamai Kampung Dukuh ini awalnya dihuni oleh sepasang suami istri yang kemudian memberikan kampungnya kepada Syekh Abdul Jalil. Di sinilah beliau mengajarkan ajaran Islam sampai akhirnya Kampung Dukuh banyak dihuni oleh masyarakat.

2. Memegang Teguh Aturan Yang Didasari Hukum Syara

Masyarakat Kampung Dukuh dikenal dengan kepatuhannya pada aturan dan ajaran islam yang dikenal dengan hukum syara. Ajaran ini tercermin dari keseharian masyarakat. Ada beberapa aturan syara yang sangat dipegang teguh masyarakat sampai sekarang, yaitu menjaga hijab.

Hijab yang dimaksud di sini berkaitan dengan interaksi perempuan dan laki-laki. Perempuan dan laki-laki yang bukan mahram wajib menjaga jarak. Peraturan ini didasari oleh ajaran islam yang mereka anut.

Selain itu, masyarakat dilarang selonjoran kaki menghadap ke utara. Ini disebabkan di arah tersebut terdapat makam karomah Syekh Abdul Jalil yang mereka hormati. Selonjoran kaki menghadap arah tersebut sama saja berlaku tidak sopan pada beliau.

Peraturan lain berlaku saat berziarah. Ketika masyarakat atau siapa pun berziarah ke makam Syekhh Abdul Jalil, mereka dilarang mengenakan perhiasan dan memakai pakaian dalam serta disarankan memakai pakaian polos. Hal ini menyimbolkan kesederhanaan khas Kampung Dukuh.

3. Tidak Ada Azan

Sudah merupakan tradisi bahwa bedug, Azan dan Iqamat merupakan penanda waktu shalat. Ketika bunyi bedug terdengar bertalu-talu, semua muslim yang sudah balig diwajibkan untuk menunaikan ibadah shalat setelah sebelumnya melakukan wudhu.

Akan tetapi, hal tersebut tidak terjadi di Kampung Dukuh. Di kampung yang masih asri dan sangat menjaga ajaran Islam ini, penanda waktu shalat hanyalah suara bedug. Tidak ada Azan atau pun Iqamat yang terdengar seperti layaknya di wilayah lain.

Saat tiba waktu shalat, salah seorang warga akan menabuh bedug besar yang terdapat di masjid kampung. Tabuhan bedug penanda waktu shalat ini dibagi menjadi tiga ronde. Pada tabuhan pertama, pemukul bedug akan menabuh bedug satu kali sebagai tanda warga bersiap-siap datang ke masjid.

Tabuhan kedua, bedug dipukul dua kali yang merupakan pertanda jamaah di masjid melaksanakan shalat sunah rawatib. Tabuhan bedug ketiga yang dipukul tiga kali adalah pertanda shalat wajib akan dilaksanakan.

4. Kondisi Kampung Dukuh Masih Alami

Tak bisa kita pungkiri modernisasi mengubah hampir seluruh tatanan kehidupan manusia. Perilaku dan gaya hidup sehari-hari yang mengalami perubahan menjadi salah satu wujud adanya modernisasi. Namun, hal ini tidak kita lihat di Kampung Dukuh.

Ketika kamu menginjakan kaki di Kampung ini, kamu akan disuguhi pemandangan alam khas pedesaan yang sering kamu baca di buku dongeng. Rumah-rumah panggung berdinding bilik dan beratap ijuk, peralatan masak tradisional, dan suasana kampung yang hening bisa kamu saksikan di sini.   

Masyarakat hidup secara tradisional. Mata pencaharian mereka adalah bertani dengan model pengolahan lahan basah (sawah) dan lahan kering (ladang). Dalam memenuhi kehidupan sehari-hari, masyarakat bercocok tanam sayuran dan mencari bahan makanan di hutan.

Hutan di Kampung Dukuh cukup luas. Mereka sering memanfaatkan hutan untuk mengambil bahan pembuatan rumah dan kayu bakar.

Masyarakat Kampung Dukuh sangat menjaga keramahan, sopan santun, dan keselarasan antara kehidupan sosial dan budaya dengan cara menghormati alam. Di samping itu, landasan hidup sufisme terlihat pada bentukan fisik kampung.

Mereka pun meyakini bahwa larangan yang diberlakukan di Kampung Dukuh mempunyai dampak positif bagi kehidupan mereka sendiri. Oleh karenanya, semua masyarakat sangat patuh.

Misalnya, larangan masyarakat membangun rumah tembok yang dilatarbelakangi oleh adanya usaha untuk menghindari kemewahan yang akan menimbulkan ketidakharmonisan antara masyarakat. Mereka juga tidak diperkenankan menggunakan peralatan makan modern.

Piring, gelas dan alat dapur lainnya dibuat sendiri dari bambu dan batok kelapa. Material ini dipercaya lebih menyehatkan dan tidak mudah pecah atau hancur sehingga lebih hemat bahan baku.

5. Tradisi di Kampung Dukuh

Selain aspek budaya, aspek non-fisik dari Kampung Dukuh pun tidak kalah menarik. Di kampung ini ada sebuah tradisi yang dinamai Ngahaturan Tuang. Dalam Bahasa Indonesia Ngahaturan Tuang berarti mempersilahkan makan.

Ini merupakan tradisi yang dilakukan masyarakat kampung atau pun masyarakat luar yang mempunyai keinginan tertentu, misalnya ingin dapat jodoh, kelancaran usaha dan lain-lainnya. Mereka memberikan beberapa benda, seperti telur ayam, kelapa, kambing dan garam.

Lalu, ada pula tradisi yang disebut Nyanggakeun. Tradisi adalah sebuah ritual penyerahan sebagian hasil bumi kepada kuncen Kampung Dukuh untuk diberkahi. Hasil bumi di Kampung Dukuh tidak boleh dimakan oleh masyarakat sebelum diadakannya upacara Nyanggakeun.

6. Pernah Terjadi Kebakaran Hebat

Pernah Terjadi Kebakaran Hebat

Sebagian besar rumah-rumah di Kampung Dukuh mengalami renovasi lantaran beberapa kali terjadi kebakaran hebat yang meluluhlantakan isi kampung.

Misalnya saja di tahun 2010 yang lalu. Kebakaran ini memusnahkan benda-benda bersejarah Kampung Dukuh. Bahkan pusaka dan benda literasi sejarah yang ditulis dalam arab gundul musnah dilalap api.

Untuk menyelamatkan Kampung Dukuh, pemerintah melakukan rekonstruksi bangunan yang menghabiskan dana sekitar 1 Milyar sekaligus mengembalikan ciri khas dan identitas Kampung Dukuh.

7. Terjadi Selisih Pendapat

Kampung ini dibagi menjadi tiga bagian, yaitu Kampung Dukuh Atas yang wilayahnya terletak lebih dekat ke Hutan Larangan kampung. Di dalam hutan tersebut terdapat makam Syekh Abdul Jalil dan ada larangan menebang pohon dan mengambil kayu dari sana.

Lalu, ada bagian yang disebut Kampung Dukuh Dalam yang lebih kuat memegang ajaran leluhur. Terakhir, ada Kampung Dukuh Luar yang merupakan wilayah yang lebih menerima perkembangan zaman.

Masyarakat Kampung Dukuh Luar lebih terbuka. Hal ini terlihat dari adanya peralatan memasak dan perkakas yang modern yang digunakan masyarakat di sana. Selain itu, banyak warganya yang telah bekerja di luar daerah Kampung Dukuh.

Pembagian wilayah ini merupakan cerminan dari prinsip hidup yang dianut oleh masing-masing kelompok. Hal ini pula yang menjadi salah satu pemicu konflik di antara mereka. Perbedaan pandangan ini terjadi di golongan muda dan golongan tua Kampung Dukuh.

Para pemuda melihat bahwa wilayah mereka terlalu jauh ketinggalan dari peradaban dan menginginkan perubahan yang lebih maju. Sementara golongan tua menghindari perubahan zaman sebab ditakutkan hal tersebut akan mengikis nilai-nilai dan ajaran leluhur.

Jika dilihat-lihat konflik yang terjadi di Kampung Dukuh, sama seperti konflik yang dihadapi di kampung-kampung adat lainnya. Ini menjadi PR yang perlu segera diselesaikan. Jika tidak, konfik akan semakin parah dan berujung hilangnya satu kebudayaan. Sampai saat ini saja masih banyak yang tidak begitu mengenal kearifal lokal dan budaya sendiri.

Kita tahu bahwa Indonesia kaya akan budaya dan suku tapi tidak mengetahui budaya tersebut. Tak heran jika satu persatu kebudayaan dan tradisi lenyap tanpa sempat diketahui oleh generasi muda. Dengan adanya kampung adat, budaya dan tradisi leluhur masih bisa kita kenali dan pelajari. Jadi, jika punya waktu luang, kita jalan-jalan yuk ke Kampung Dukuh dan kampung-kampung adat lainnya.

Kategori:
Tag:
cross
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram