3 Rumah Adat Sulawesi Tenggara yang Jadi Kekayaan Budaya

Ditulis oleh Siti Hasanah

Ketika berkunjung ke sebuah daerah, kita biasanya akan mencari objek wisata yang unik. Meskipun kebanyakan wisatawan akan mencari destinasi wisata alam, tak jarang dari mereka yang tertarik dengan kebudayaan daerah dari tempat yang dikunjungi. Selain tarian, hasil budaya yang unik lainnya adalah rumah adat.

Indonesia memiliki beragam rumah adat, salah satunya adalah rumah adat Sulawesi Tenggara. Provinsi ini memiliki tiga jenis rumah adat yang unik dan menarik untuk dikunjungi. Ada perbedaan dari ketiga rumah adat tersebut. Yuk, cari tahu apa saja rumah adat tersebut dan apa yang menjadi perbedaannya!

1. Rumah Laikas

Rumah LaikasSumber: harianproyek.blogspot.com

Suku Tolaki yang menghuni beberapa wilayah di Sulawesi Tenggara memiliki rumah adat yang disebut dengan rumah adat laikas. Suku ini meninggali beberapa wilayah, seperti Kota Kendari, Kabupaten Konawe, Konawe Selatan, Konawe Utara dan Kolaka Utara Provinsi Sulawesi Utara.

Rumah adat Sulawesi Tenggara ini mempunyai bentuk layaknya rumah panggung yang memiliki tiga ataupun empat lantai. Keunikannya yaitu kolom rumah atau bagian bawah rumah tidak didiami oleh penghuni rumah. Pada umumnya bagian bawah dari rumah laikas digunakan untuk tempat tinggal hewan ternak seperti ayam atau babi.

Sementara di lantai pertama dan kedua dijadikan sebagai tempat tinggal yang didiami oleh penghuni rumah tersebut. Kedua lantai tersebut pada umumnya akan jadi tempat tinggal raja juga pemaisurinya. Adapun lantai tiga dipakai sebagai tempat untuk menyimpan berbagai benda pusaka yang dipunyai sang Raja.

Bagaimana dengan dengan rumah laikas yang mempunyai empat lantai ? Rumah dengan empat lantai, di lantai teratas dibuat sebagai tempat untuk beribadah juga bersemedi. Jika bertandang ke rumah adat Sulawesi Tenggara ini, pada lantai keduanya akan ditemukan suatu keunikan.

Pada bagian kiri dan kanan lantainya diberikan ruang khusus yang sangat menarik untuk diketahui. Ruangan khusus itu dipakai sebagai ruang untuk menenun kain maupun membuat pakaian tradisional.

Rumah adat ini semakin istimewa karena penggunaan bahan yang dipakai untuk membangunnya. Dikatakan istimewa karena sedikitpun tidak memakai bahan logam dalam proses pembangunannya. Artinya rumah adat ini dibangun tanpa menggunakan paku ketika menyatukan antar komponen.

Jadi bagaimana bangunan ini bisa tetap utuh tanpa menggunakan komponen penyambung? Untuk pengganti paku, penduduk memakai beragam bahan yang sudah tersedia di lingkungan alam sekitar. Suku Tolaki menggunakan rumbai alang-alang maupun nipah untuk atapnya saja. Sementara balok kayu dipakai untuk menjadi tiang penumpu hunian. Pembuatan dindingnya dibuat menggunakan papan kayu.

Keseluruhan bahan bangunan tersebut kemudian disatukan jadi sebuah bangunan bersama dengan pasak kayu atau serat kayu. Sebagian penduduk suku ini masih hidup secara tradisional. Mereka menggantungkan kehidupannya dari mengelola hasil alam.

Sampai saat ini suku Tolaki masih memegang teguh keyakinan dan tradisinya untuk menjaga dan memelihara kelestarian hutan. Kepercayaan ini bahkan terus diwariskan pada para anak cucu. Ini terbukti dengan keberadaan sistem perladangan juga pemukaan yang jadi kebiasaan turun temurun.

2. Rumah Mengkongga

 Rumah Mengkongga

Dibandingkan dengan rumah adat Sulawesi Tenggara lainnya, rumah adat Mengkongga ini berbeda. Hal ini karena rumah ini dibangun oleh suku Raha yang juga lebih dikenal dengan nama suku Mekongga. Rumah adat yang satu ini mempunyai ukuran yang lumayan luas dan bentuknya segi empat.

Bangunan tradisional tersebut dibangun di area seluas 2 Ha. Rumah adat ini mengadopsi bentuk rumah panggung yang mempunyai beberapa buah tiang yang tinggi menjulang. Tidak hanya sebagai hiasan saja, tiang tersebut berfungsi menjadi penyangga bangunan.

Supaya pondasinya sempurna, biasanya rumah adat ini memiliki setidaknya 12 tiang penyangga disertai dengan 30 anak tangga. Anak tangga yang 30 tersebut mempunyai arti sebagai helaian bulu burung kongga dan fungsinya sebagai penghubung antara lantai pertama hunian dengan tanah.

Hunian satu ini pada umumnya dibangun di area yang terbuka dan mempunyai 4 ruangan. Kebanyakan rumah adat ini bahkan dibangun di dalam hutan dengan rumput alang di sekelilingnya. Rumah adat Sulawesi Tenggara ini tidak dihuni oleh masyarakat biasa, melainkan raja atau ketua suku Raha.

Rumah adat ini biasanya berfungsi sebagai tempat untuk melakukan suatu acara seremonial maupun beragam upacara adat lainnya. Seiring waktu, rumah tradisional ini kini sudah beralih fungsi menjadi ikon Provinsi Sulawesi Tenggara saja.

Beberapa diantaranya bahkan sudah diubah oleh pemerintah daerah menjadi destinasi wisata. Tujuannya yaitu untuk melestarikan juga mengenalkan budaya lokal kepada dunia internasional.

Kedaan ini juga memberikan dampak positif lainnya, yakni meningkatkan pendapatan daerah dan meneguhkan kepemilikannya. Ketika berkunjung ke rumah Mengkongga, banyak wisatawan yang tertarik dengan bermacam-macam cerita mistik.

Para tamu terkadang dikejutkan juga oleh adanya penampakan makhluk halus. Kadang-kadang, makhluk halus ini berani memperlihatkan dirinya kepada para tamu. Beragam gangguan menimpa para pengunjung. Ada juga pengunjung yang mendengar suara layaknya seorang perempuan menjerit.

Saat tamu yang berkunjung melakukan keributan di rumah tersebut, mereka akan mendapatkan teguran dari para penghuni yang tak terlihat oleh mata tersebut. Biasanya teguran yang diterima bisa berupa jeritan misterius yang datang dari ruangan.

Tidak jarang ada tamu yang mengadu bahwa mereka dihantui oleh bayang-bayang. Mereka yang dianggap sudah mengganggu ketentraman akan mendapatkan bisikan agar keluar dari rumah adat tersebut.

3. Rumah Banua Tada

Rumah Banua Tada

Banua tada adalah rumah adat milik suku Wolio yang merupakan orang Buton. Mereka tinggal di Kabupaten Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara. Keunikan rumah adat yang berbentuk panggung ini adalah tidak adanya penggunaan satu pun paku dalam pembangungan rumah ini.

Dalam bahasa setempat kata banua berarti rumah, sementara kata tada artinya siku. Karenanya, banua tada bisa berarti rumah siku. Struktur bangunan rumah ini berdasarkan status sosial penghuninya dapat dibedakan jadi tiga.

Ketiga struktur bangunan tersebut yakni kamali, banua tada tare pata pale serta banua tada tare talu pale. Lebih dikenal dengan sebutan malige, kamali yang artinya mahligai atau istana, yakni kediaman raja atau sultan serta keluarganya.

Banua tada tare pata pale yaitu berupa rumah siku bertiang empat. Ini adalah rumah tempat kediaman bagi para pejabat maupun pegawai istana. Sementara itu, banua tada tare talu pale atau rumah siku bertiang tiga merupakan rumah tempat hunian orang biasa.

Untuk tata ruang rumah adat Sulawesi Tenggara ini dibagi menjadi beberapa lantai. Lantai pertama digunakan sebagai ruang untuk hunian raja dengan permaisurinya sehingga ruangan ini memiliki ruang tidur, ruang makan, dan ruang tamu yang terletak di depan ruang tidur.

Lantai kedua digunakan sebagai ruang keluarga. Pada kanan dan kiri lantai ini terdapat ruangan yang digunakan sebagai tempat untuk menenun kain yang disebut dengan bane. Sementara lantai ketiga dipakai sebagai tempat sholat.

Rumah banua tada memiliki beberapa motif hiasan yang biasanya bisa dilihat pada bangunan rumah. Motifnya beragam mulai dari flora hingga fauna. Motif flora terdiri dari nanasi, bosu-bosu, ake, dan kambang. Sementara motif fauna yaitu motif naga.

Hiasan yang pertama adalah nanasi yang berbentuk buah nenas. Biasanya motif ini ditempatkan di bagian depan dan belakang ujung atap rumah. Hiasan ini adalah lambang dari keuletan serta kesejahteraan.

Menurut mereka tanaman nenas adalah tanaman yang mudah tumbuh juga tak mudah layu meskipun ditanam pada tanah yang kering. Nenas ini adalah simbol yang menyiratkan bahwa orang Buton di mana pun berada ataupun mencari nafkah, mereka harus ulet saat berhadapan dengan tantangan.

Buah pohon butun atau dikenal juga dengan bosu-bosu (baringtonia asiatica) adalah sejenis buah yang mirip dengan buah delima. Biasanya motif ini diletakkan di tengkebala atau bate. Ini adalah bagian atap rumah yang posisinya di bawah cucuran atap.

Motif ini memiliki simbol yang berarti keselamatan, kebahagiaan, dan keteguhan. Motif selanjutnya adalah ake. Ini adalah motif yang berbentuk seperti patra (daun). Lambang dari motif ini yaitu kesempurnaan.

Selain itu, motif ini juga bisa ditemukan pada bangunan malige dan merupakan lambang bersatunya sultan (manusia) dengan Sang Khalik (Tuhan). Simbol ini maknanya berasal dari Wahdatul Wujud, sebuah ajaran tasawuf.

Kambang adalah motif flora lainnya. Motif ini sejenis kembang yang bentuknya seperti kelopak teratai atau matahari. Ini melambangkan kesucian. Dikarenakan bentuknya yang tampak seperti matahari, orang Buton pun menyebutnya sebagai lambang Suryanullah (cahaya Allah). Ini menggambarkan kemajuan atau perkembangan dari zaman Majapahit sampai zaman Islam.

Motif naga adalah motif fauna yang paling menonjol pada rumah adat Buton. Biasanya motif ini diletakkan pada bubungan atap rumah. Hal ini karena orang Buton beranggapan bahwa naga itu berada di langit.

Lambang dari motif ini adalah kekuasaan dan pemerintahan. Tak hanya pada bubungan atap rumah, naga juga umum diletakkan pada pintu depan juga belakang. Tujuannya adalah supaya si penghuni rumah dapat terhindar dari berbagai macam bahaya, khususnya angin jahat.

Tiap rumah adat di semua daerah di Indonesia memiliki ciri khasnya sendiri. Begitu juga dengan rumah adat Sulawesi Tenggara. Dari penjelasan di atas, disebutkan bahwa rumah adat tersebut memiliki ciri yang tidak khas yang unik misalnya motif hiasan atau penggunaan bahan untuk bangunan rumah adat tersebut.

Meskipun rumah adat ini memiliki kemiripan tapi selalu ada keunikan dan filosofi  yang berbeda yang dimiliki rumah adat tersebut. Karena itu kita harus ikut melestarikannya karena keunikan-keunikan tersebut adalah bagian dari kekayaan budaya kita.

cross
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram