7 Budaya dan Tradisi Masyrakat Maluku yang Sangat Unik

Ditulis oleh Okta Tri Umami

Maluku adalah daerah kepulauan yang penuh dengan sejuta pesona dan keindahannya. Selain memiliki keindahan sumber daya alamnya, Maluku juga memiliki budaya-budaya leluhur yang masih dipertahankan keberadaanya hingga saat ini. Budaya sendiri adalah sebuah aspek kehidupan yang mencakup kepercayaan, kebiasaan, seni, dan adat istiadat yang dijalani oleh masyarakat Maluku.

Maluku memiliki beragam budaya dan tradisi yang sudah ada sejak dulu dan masih dijaga dengan sangat baik dan bahkan dilestarikan keberadaanya oleh masyarakat Maluku. Berikut Keluyuran sudah berhasil merangkum ketujuh budaya dan tradisi dari masyarakat Maluku.

1. Budaya Kalwedo

*

Budaya Kalwedo adalah salah satu budaya khas Maluku yang berasal dari masyarakat Maluku Barat Daya (MBD). Kalwedo memiliki makna kepemilikian atas kehidupan bersama (bersaudara). Budaya Kalwedo sendiri telah mengakar dalam keseharian masyarakat sekitar baik itu bahasa sampai dengan kebiasaan sehari-hari mereka.

Budaya Kalwedo telah menyatukan seluruh masyarakat Barbar dan MDB dalam ikatan tali persudaraan yang sakral. Tali persudaraan Kalwedo diperlihatkan melalui budaya hidup berdampingan dengan baik “Niolilieta/Hiolilieta/Siolilieta.”

Hidup berdampingan dengan baik diwujudkan dengan tradisi saling berbagi dan membantu dalam potensi alam, sosial, budaya, dan ekonomi yang dihasilkan dari alam kepulauan Maluku Barat Daya. Budaya Kalwedo diimplementasikan dalam keseharian dengan sebutan “inanara ama yali” yang bermakna “saudara perempuan dan laki-laki.”

2. Budaya Hawear

*

Budaya Hawear bersumber dari sejarah yang dipercaya keberadaanya oleh masyarakat kepulauan Kei secara turun temurun. Dikisahkan ada seorang gadis yang diberikan Hawear (janur kuning) oleh ayahnya. Hawear yang diberikan oleh sang ayah berfungsi untuk menjaganya dari gangguan selama melakukan perjalanan panjang bertemu dengan Raja.

Hawear yang diberikan oleh sang ayah merupakan simbol dari kepemilikan, menunjukkan bahwa sang gadis telah dimiliki oleh seseorang. Sehingga, diharapkan Hawear yang dibawa oleh sang gadis dapat menjauhkannya dari gangguan orang-orang tak dikenal. Sampai hari ini, Budaya Hawear masih dijalankan sesuai dengan makna yang dipercayai kebenarannya oleh masyarakat sekitar kepulauan Kei.

3. Batu Pamali

Batu Pamali

*

Batu Pamali adalah sebuah representasi dari kehadiran leluhur “Tete dan Nene Moyang” di dalam kehidupan masyarakat Maluku. Batu Pamali berbentuk batu alas atau batu dasar yang diletakkan di samping rumah Baileo.

Batu Pamali adalah bentuk atau sistem pemersatu perbedaan dari soa-soa (kelompok-kelompok orang) yang ada di sebuah negeri/desa. Di sebuah negeri/desa di Maluku, Batu Pamali dimiliki oleh keseluruhan penduduk negeri/desa tersebut, meskipun mereka berasal dari kelompok yang berbeda-beda, termasuk perbedaan agama.

Seiring dengan perkembangan zaman dan kepercayaan di masyarakat, terjadi pergeseran makna dan praktik ritual dari keberadaan Batu Pamali. Hingga hari ini, masih banyak masyarakat Maluku yang percaya akan makna dari Batu Pamali, meskipun sistem adat asli negeri/desa telah diganti dengan peyeragaman sistem pemerintahan desa berdasarkan UU tahun 1979.

4. Upacara Fangnea Kidabela

*

Upacara Fangnea Kidabela berasal dari masyarakat kepulauan Tanimbar atau yang sekarang disebut dengan Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Upacara Fangnea Kidabela mengandung makna sebagai pemantapan “fangnea” terhadap persaudaraan “itawatan” dan keakraban “kidabela” antar sesama masyarakat sebagai suatu bentuk persatuan dan kesatuan.

Upacara Fangnea Kidabela sesuai dengan tujuan dan maknanya, dapat menciptakan suasana hidup bermasyarakat yang kokoh dan kuat. Persatuan dan kesatuan akan terjaga dengan baik dalam situasi apapun.

Hal ini diharapkan dapat mencegah terjadinya konflik dan perpecahan yang dapat mengakibatkan terjadinya kehancuran dan kesuraman. Hingga hari ini, upacara Fangnea Kidabela sering diadakan guna memperkokoh persaudaraan dan persatuan masyarakat Maluku Tenggara Barat.

5. Budaya Arumbae

*

Arumbae adalah simbol dari budaya orang-orang Maluku yang senang berlayar karena sebagian besar masyarakatnya berprofesi sebagai nelayan. Selain itu, Budaya Arumbae juga menjadi simbol dari masyarakat Maluku yang dinamis dan memiliki daya juang yang tinggi dalam menghadapi tantangan guna menyongsong masa depan yang gemilang.

Arumbae berasal dari perjuangan leluhur melewati perjuangan panjang yang sulit di tengah lautan. Di Maluku, Arumbae memiliki makna sebagai sebuah perahu/kapal yang di dalamnya terdapat lima orang sedang bejuang mendayung serta menghadapi tantangan di lautan lepas. Sedangkan Arumbae adalah bahasa Maluku untuk perahu.

Saat ini, Arumbae telah ditempatkan diberbagai karya seni dan budaya, contohnya pada lagu-lagu daerah, syair, bangunan, dan olahraga. Dalam bidang olahraga, Arumbae dilestarikan sebagai lomba mendayung yang dinamai dengan “Arumbae manggurebe.” Arumbae Manggurebe selain menjadi olahraga tahunan yang diselenggarakan di Teluk Ambon, juga menjadi daya tarik bagi wisatawan.

6. Budaya Makan Patita

*

Makan Patita adalah kebudayaan yang sampai saat ini masih dilestarikan dengan baik oleh Masyarakt Maluku. Makan Patita adalah sebuah kegiatan makan besar di mana semua masyarakat secara bersama-sama menikmati makanan yang tersedia di atas meja atau daun pisang yang disusun memanjang.

Makan Patita biasanya diadakan pada perayaan hari-hari penting seperti HUT-RI, HUT KOTA, pelantikan kepala daerah, pesta rakyat, dan lain-lain. Menu makanan yang tersedia di Makan Patita biasanya berasal dari Maluku seperti ikan asar, kohu-kohu, ubi-ubian rebus, gudangan, dan lain sebagainya.

Makanan-makanan tersebut akan disajikan dalam jumlah banyak, sehingga seluruh peserta acara dapat secara merata mendapatkan bagiannya. Makan Patita biasanya dilakukan pada area terbuka, seperti lapangan, jalan, pesisir pantai, atau lain sebagainya.

7. Tradisi Pukul Sapu (Manyapu)

Tradisi Pukul Sapu (Manyapu)

*

Tradisi Pukul Sapu (Manyapu) adalah sebuh tradisi yang diadakan setiap tahun oleh masyarakat Mamala dan Morela, Ambon, Maluku. Pukul Manyapu adalah kegiatan di mana beberapa pemuda saling memukul menggunakan sapu lidi atau sapu ijuk hingga luka, dan pada akhirnya luka sabetan lidi diobati dengan minyak mamala.

Tradisi Pukul Sapu diadakan setiap tanggal 7 Syawal dalam penanggalan Islam atau Hari Raya Idul Fitri. Tradisi pukul menyapu sebenarnya berkisah tentang khasiat dan kegunaan minyak mamala yang dipercaya sangat ampuh menyembuhkan segala jenis luka.

Berawal dari sejarah patahnya tiang masjid yang berhasil disambung kembali menggunakan minyak mamala pada abad ke-16. Hal ini membuat leluhur menjadi penasaran dengan khasiat dari minyak mamala. Hingga akhirnya, mereka membuat semacam percobaan dengan memerintahkan dua orang pemuda saling memukul menggunakan lidi.

Kemudian, leluhur mengolesi minyak mamala pada luka kedua pemuda tersebut, hal yang terjadi adalah luka tersebut sembuh tanpa menimbulkan bekas. Kegiatan inilah yang menjadi sumber dari keberadaan tradisi tahunan Pukul Manyapu saat ini.

Demikianlah informasi mengenai budaya dan tradisi masyarakat Maluku dari Keluyuran. Jika Anda memiliki saran, masukan, dan informasi lain mengenai tradisi-tradisi di Indonesia lainnya, bagikanlah dengan kami di kolom komentar. Oh iya, ada juga beberapa tarian khas Maluku Utara yang unik, cek daftarnya di artikel ini.

Kategori:
Tag:
cross
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram