Penuh Larangan, Inilah Fakta Lainnya dari Kampung Mahmud
Jika kamu punya waktu luang, cobalah berjalan-jalan menyusuri sungai Ci Tarum, masuk ke daerah Cilampeni – Curug Jompong. Tak jauh dari daerah itu terdapat sebuah kampung yang disebut dengan Kampung Mahmud. Kampung ini berada di kelokan sungai Ci Tarum yang saat kini sudah diratakan. Kampung Mahmud sejatinya berada di Desa Mekar Rahayu, Kecamatan Margaasih, Kab Bandung.
Kampung ini berperan penting dalam penyebaran agama Islam di bandung dan sekitarnya dan juga tempat berlindung pejuang Indonesia semasa penjajajahan Belanda. Sebagai kampung yang punya sejarah panjang, Kampung Mahmud menyimpan banyak fakta dan keunikan tersendiri yang menarik untuk diketahui. Dirangkum dari berbagai sumber, inilah beberapa fakta tentang Kampung Mahmud.
Baca juga: Fakta Kampung Adat Ciptagelar
1. Dibangun Setelah Mendapat Ilham
Kampung Mahmud tidak bisa lepas dari tokoh yang bernama Eyang Haji Abdul Manaf. Pembangunan Kampung ini diawali oleh adanya ilham yang diterima oleh beliau. Beliau merupakan salah satu keturunan ketujuh dari Sunan Gunung Jati dan juga sosok yang membuka Kampung Mahmud.
Ilham tersebut beliau terima sebelum kembali ke tanah air setelah 15 tahun bermukim di Mekkah. Beliau mendapat firasat bahwa Indonesia akan dijajah oleh bangsa asing. Oleh sebab itu, beliau berdoa di sebuah tempat yang bernama Gubah Mahmud yang lokasi berdekatan dengan Masjidil Haram.
Dalam doanya beliau meminta petunjuk tempat mana yang tidak akan tersentuh oleh penjajah. Lalu, pulanglah beliau sambil membawa segenggam tanah yang berasal dari Mekkah, sesuai yang ditunjukkan dalam doa di Gubah Mahmud.
Sekembalinya dari Mekkah, beliau mencari rawa untuk bakal permukiman baru. Rawa yang terletak di pinggir sungai Ci Tarum tersebut diurug dan tanah yang dibawanya dari Mekkah ditebar di sekitar kawasan tersebut.
Eyang Abdul Manaf menjadikan Kampung Mahmud sebagai pusat syiar agama Islam di Bandung dan sekitarnya. Dalam perjalanan menyebarkan agama Islam, beliau dibantu oleh muridnya, yaitu Eyang Abdullah Gedug dan Eyang Agung Zainal Arif.
2. Kampung yang Sudah Modern
Mendengar nama kampung adat, benak kita pasti membayangkan suasana kampung yang masih tradisional, asri, kental dengan budaya dan masih terjaga keasliannya. Tapi lain halnya dengan Kampung Mahmud.
Meski mendapat sebutan sebagai kampung adat, dilihat dari kondisi permukiman saat ini, Kampung Mahmud termasuk kampung yang cukup modern. Meski di sana sini, sentuhan tradisional masih terlihat, namun jumlahnya tidak begitu banyak.
Di samping itu, masyarakatnya sudah mengenal teknologi dan sangat terbuka pada perkembangan zaman. Dari gapura yang menandakan lokasi kampung saja sentuhan modern sudah terlihat. Gapura Kampung Mahmud dibuat dari bahan semen dan batu bata yang diberi genting dan dicat.
Sebuah tulisan besar di gapuran tersebut terpampang dengan jelas. Di samping kiri terdapat plang resmi yang dibuat pemerintah Kabupaten Bandung sebagai tanda bahwa kawasan ini sudah resmi diakui menjadi cagar budaya.
Masyarakat Kampung Mahmud pun sudah mengikuti zaman. Sebagian besar masyarakat sudah banyak yang mengenakan pakaian modern, seperti celana jeans, akrab dengan teknologi dan menggunakan kendaraan. Dulu, warga wajib mengenakan sarung dan berpakaian muslim.
3. Aturan Zaman Dulu di Kampung Mahmud
Jauh sebelum masa ini, Kampung Mahmud adalah kampung yang asri, tenang dan menjalankan tradisi sesuai yang diajarkan leluhur mereka, Eyang Dalem Haji Abdul Manaf. Meskipun tidak tertulis secara resmi, namun ada beberapa aturan di Kampung Mahmud yang dipatuhi oleh masyarakat.
Beberapa di antaranya yaitu tidak boleh menggali sumur. Di seluruh kawasan ini, kamu tidak akan melihat sumur warga seperti layaknya di kampung-kampung adat lainnya. Sebagai gantinya, warga menggunakan air sungai Ci Tarum untuk kebutuhan sehari-hari.
Selain itu, Kampung Mahmud diharamkan bagi mereka yang beragam non-Islam. Kurang lebih 150 meter dari makam Eyang Abdul Manaf, ada sebuah tugu yang dibangun untuk menandai kawasan. Dari mulai tugu itu, siapa saja yang beragama selain Islam tidak boleh menginjakkan kakinya.
Eyang Abdul Manaf ingin menjadikan kampung yang dibangunnya tersebut sebagai kawasan pusat penyebaran agama Islam yang suci seperti Mekkah dan Madinah. Masyarakat di Kampung Mahmud pun dilarang membangun rumah menggunakan jendela kaca dan tidak boleh menggunakan material bata. Masyarakat hanya boleh membangun rumah dari bahan-bahan alami.
Dilihat dari kondisi tanahnya, aturan ini diberlakukan sebab Kampung Mahmud dibangun di lahan bekas rawa yang mana tanahnya tidak solid dan tidak stabil. Akan berbahaya jika ada bangunan permanen berbahan keras. Aturan lain yang berlaku di zaman dulu adalah tidak boleh ada penerangan, alat musik dan memelihara unggas dan kambing.
Latar belakang aturan ini adalah sebab zaman dulu Kampung Mahmud dijadikan sebagai basis pertahanan dan tempat berlindung kamu pejuang kemerdekaan sekaligus pusat belajar agama Islam. Adapun keberadaan unggas dan kambing dikhawatirkan mengganggu proses belajar para santri.
Pernah ada satu kejadian, seorang pendatang di kampung Mahmud melanggar pantangan. Ia membangun rumah tembok. Tidak lama kemudian ia diserang penyakit aneh yang membuat kakinya tidak bisa ditekuk.
Dibantu keluarga, ia pun berobat ke seorang sesepuh kampung Mahmud. Sesepuh tersebut berkata bawah sakit yang diderita disebabkan karena ia melanggar pantangan di Kampung Mahmud.
Sayangnya, ia tidak percaya akan keterangan sang ahli hikmah dan ulama sekaligus sesepuh. Sakit yang dideritanya tidak kunjung sembuh, dan setahun berlalu ia pun berpulang. Wallahu allam.
4. Kampung Mahmud di Masa Kini
Seiring dengan perkembangan zaman dan perubahan kondisi sekitar, banyak hal yang berubah dari Kampung Mahmud. Ada beberapa aturan yang sudah tidak bisa dijalankan lagi yang menyebabkan berubahnya tatanan hidup masyarakat setempat.
Ini tercermin dalam perubahan aturan yang melarang membuat sumur. Di masa ini, aturan tersebut tidak bisa dilakukan sebab pencemaran sungai Ci Tarum sudah sangat parah dan airnya tidak bisa lagi digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Padahal sungai Ci Tarum adalah sungai terpanjang di Jawa Barat. Dulu, airnya pun bersih dan jernih. Banyak masyarakat yang menggantungkan kebutuhan sehari-harinya dari sungai ini, seperti untuk memasak, mencuci, dan kebutuhan lainnya.
Namun, seiring waktu sungai ini mengalami pendangkalan dan limbah pabrik mencemari airnya. Jika kamu melintasi daerah-daerah yang dilewati aliran sungai Ci Tarum, aroma tidak sedap menyeruak membuat mual siapa saja yang menciumnya. Apalagi sampah di permukaan air terlihat menggunung.
Selain itu, masyarakat kini punya televisi di rumah. Hadirnya televisi membawa pengaruh dalam keseharian. Budaya luar tanpa sadar sudah terserap dan diaplikasikan dalam kehidupan mereka. Ini menyebabkan nilai-nilai dan prinsip hidup Kampung Mahmud mengalami pergeseran.
Rumah-rumah di sekitar kampung pun sudah banyak yang terbuat dari semen atau pun batu bata. Meskipun masih ada yang menempati rumah panggung, namun jumlahnya tidak begitu banyak. Perubahan ini pun disebabkan semakin menipisnya sumber material alami untuk membuatnya.
5. Tetap Menjadi Tujuan Ziarah
Meskipun Kampung Mahmud sudah mengalami pergeseran nilai tradisi dan budaya, namun perannya sebagai pusat syiar agama Islam di Bandung masih tidak tergantikan. Masyarakat masih menganggap tempat ini sebagai salah satu tempat sakral yang wajib dihormati.
Ini disebabkan karena di Kampung Mahmud terdapat makam Eyang Abdul Manaf yang tersohor. Tidak bisa kita pungkiri bahwa tokoh penyebar agama Islam ini sangat dihormati. Ini terlihat dari banyaknya orang yang mendatangi makan beliau untuk berziarah.
Hampir sepanjang waktu, makam Eyang Abdul Manaf tak pernah sepi pengunjung, terutama di bulan Syawal, Maulud dan malam Jumat. Ada yang mendatangi makam beliau untuk mendoakan leluhur yang sangat dihormati tersebut, namun tidak sedikit orang yang datang mempunyai tujuan tertentu.
Orang-orang yang datang tidak hanya berasal dari kota Bandung, banyak pula yang berasal dari kota-kota lain dan dari luar negeri.
6. Tidak Pernah Kebanjiran
Fakta bahwa daerah-daerah tertentu yang dilewati aliran sungai Ci Tarum kerap mengalami banjir saat sungai meluap bukan lagi rahasia, terlebih ketika musim hujan tiba dan debit air sungai deras. Daerah-derah seperti Bale Endah dan Dayeuh Kolot, contohnya, sering kena banjir.
Makanya di daerah tersebut terdapat perahu di sudut-sudutnya. Perahu-perahu tersebut berguna untuk mobilitas warga dan mengevakuasi warga yang terkena banjir. Menariknya, meskipun berada di hilir sungai Ci Tarum, Kampung Mahmud tidak pernah terkena banjir.
Padahal lokasinya berada di antara aliran sungai Ci Tarum Baru dan sungai Ci Tarum Lama. Masyarakat percaya bahwa Kampung Mahmud diberkahi karomah dari Allah SWT yang diturunkan lewat Eyang Abdul Manaf.
Terlepas dari banyaknya fakta dan mitos yang beredar di tengah masyarakat mengenai Kampung Mahmud, kampung ini sejatinya merupakan tempat yang penting bagi masyarakat sekaligus menjadi saksi perkembangan masyarakat Bandung.
Oh, ya, letak Kampung Mahmud tidak sulit dijangkau, baik itu menggunakan kendaraan pribadi atau pun kendaraan umum seperti angkot dan bus. Akses menuju ke lokasi tersebut mudah. Kamu bisa menggunakan bus 35 Mahmud-Tegallega, lalu naik angkot jurusan Soreang-Cililin atau Soreang-Cimahi.