7 Hal Menarik Tentang Kampung Adat Wae Rebo di Flores
Flores merupakan salah satu pulau di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang kini sedang banyak dipromosikan sebagai destinasi wisata unggulan. Biasanya, wisatawan lebih banyak mengenal Pulau Komodo yang terletak di Kabupaten Manggarai Barat, atau lebih dikenal dengan sebutan Labuan Bajo. Padahal selain itu, masih banyak destinasi lain di Flores yang menarik untuk dikunjungi.
Salah satunya ada Kampung Adat Wae Rebo yang terletak di Kabupaten Manggarai. Wae Rebo berada di ketinggian sekitar 1200 meter di atas permukaan laut. Memiliki suhu yang dingin, dan udara yang sangat asri karena tidak adanya polusi. Wae Rebo sudah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO karena kampung adat ini masih terus melestarikan budayanya meski sudah ada di zaman modern.
Wae Rebo dengan segala keunikannya, wajib masuk ke dalam bucketlist liburanmu. Jika kamu sudah merasa penasaran dan tertarik ke sana, yuk ketahui 7 hal tentang Kampung Adat Wae Rebo. Simak ulasannya berikut ini!
1. Lokasi Kampung Adat Wae Rebo

* sumber: astriacis.wordpress.com
Kampung Adat Wae Rebo terletak di Satar Lenda, Satar Mese Barat, Kabupaten Manggarai. Tepatnya berada di tengah-tengah antara Ruteng dan Labuan Bajo. Desa terakhir sebelum ke Wae Rebo adalah Desa Denge yang jaraknya 143 km dari Pelabuhan Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat.
Desa Denge dapat diakses menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat dari Labuan Bajo selama 5 – 6 jam perjalanan. Rute yang dilalui adalah Trans Flores dengan jalur yang menikung, kemudian masuk melewati jalur pedesaan yang sempit. Sehingga kamu perlu berhati-hati apabila berpapasan dengan kendaraan lain.
2. Mbaru Niang

* sumber: astriacis.wordpress.com
Daya tarik dari Kampung Adat Wae Rebo adalah bangunan berbentuk kerucut yang membentuk letter-U. Bangunan ini dinamakan Mbaru Niang. Terdapat 7 Mbaru Niang yang sudah ada sejak dulu. Mbaru Niang paling besar yang ada di tengah merupakan Mbaru Niang Utama, tempat dimana tetua adat Wae Rebo tinggal.
Dalam Mbaru Niang terdapat lima lantai dengan fungsi yang berbeda-beda. Lutur merupakan lantai dasar yang dijadikan sebagai tempat tidur penghuni dan pengunjung, Lobo sebagai tempat penyimpanan bahan makanan, Lentar sebagai tempat menyimpan benih tanaman, Lempa Rae sebagai tempat menyimpat stok cadangan makanan, dan Hekang Kode sebagai tempat sesajen.
3. Upacara Adat

* sumber: astriacis.wordpress.com
Masyarakat Wae Rebo tetap memegang teguh adat dan budaya yang sudah diturunkan sejak dulu. Salah satu upacara adat yang bisa diikuti setiap wisatawan adalah upacara penyambutan tamu. Setiap pengunjung yang baru datang, akan dipersilakan masuk ke Mbaru Niang utama, tempat tinggal tetua adat Wae Rebo.
Pada saat upacara adat berlangsung, pengunjung tidak diizinkan mengambil gambar, baik itu foto maupun video untuk menjaga privasi. Upacara penyambutan dilakukan oleh tetua adat Wae Rebo menggunakan bahasa daerah. Tetua adat tidak bisa berbahasa Indonesia, jadi selanjutnya akan diterjemahkan oleh penduduk lokal yang mendampingi.
4. Suku Asli Wae Rebo

* sumber: astriacis.wordpress.com
Kampung adat Wae Rebo terletak di Kabupaten Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur. Namun siapa sangka, jika masyarakat asli Wae Rebo merupakan suku Minang? Masyarakat Minang sejak lama dikenal sebagai perantau ulung. Salah satunya, mereka merantau ke Flores. Kemudian tumbuh dan menetap di Wae Rebo.
Sesepuh Wae Rebo membangun sendiri Mbaru Niang dengan bentuk yang sampai saat ini masih sama. Namun bangunan sebelumnya pernah mengalami beberapa kerusakan, kemudian pada akhirnya dibangun kembali dengan fondasi yang sama, seperti yang bisa dilihat saat ini.
Kebiasaan masyarakat Minang untuk merantau, juga dilakukan oleh mereka yang sudah menetap di Wae Rebo. Sejak sekolah dasar, mereka bersekolah di Desa Denge, kemudian naik ke tingkat mengengah pertama mereka sekolah lebih jauh di desa lain. Saat memasuki sekolah menengah atas, mereka merantau lebih jauh yaitu ke Kota Ruteng, ataupun Labuan Bajo.
Jangan mengira masyarakat Wae Rebo terbelakang. Sepengalaman saya saat berkunjung ke sana, mayoritas anak-anak muda mengenyam pendidikan hingga tingkat perguruan tinggi. Bahkan, ada yang berkuliah di Universitas Gajah Mada (UGM). Meski tinggal di desa yang sangat tradisional, tetap mengedepankan pendidikan untuk masa depan mereka.
5. Penghasil Kopi dan Tenun

* sumber: backpackstory.me